Kota Semarang adalah ibukota Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Semarang merupakan kota yang dipimpin oleh wali kota Drs. H. Soemarmo HS, MSi dan wakil wali kota Hendrar Prihadi, SE, MM. Kota ini terletak sekitar 466 km sebelah timur Jakarta, atau 312 km sebelah barat Surabaya, atau 624 km sebalah barat daya Banjarmasin (via udara).Semarang berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Demak di timur, Kabupaten Semarang di selatan, dan Kabupaten Kendal di barat.
Letak geografis kota semarang : Daerah dataran rendah di Kota Semarang sangat sempit, yakni sekitar 4 kilometer dari garis pantai. Dataran rendah ini dikenal dengan sebutan kota bawah. Kawasan kota bawah seringkali dilanda banjir, dan di sejumlah kawasan, banjir ini disebabkan luapan air laut (rob). Di sebelah selatan merupakan dataran tinggi, yang dikenal dengan sebutan kota atas, di antaranya meliputi Kecamatan Candi, Mijen, Gunungpati,Tembalang dan Banyumanik.
Kota Semarang juga memiliki peninggalan yang saat ini yang masih ada, salah satunya adalah Lawang Sewu, Lawang sewu menjadi salah satu akar dari budaya kota semarang. Gedung Lawang Sewu adalah salah satu contoh tinggalan kebudayaan materi. Bangunan yang di desain oleh Ouendag dan Klinkhamer pada awal abad 20 bisa diyakini sebagai potret kebudayaan urban pada awal tahun 1900-an di Semarang. Tidak hanya arsitekturnya tetapi jika dieksplorasi akan memunculkan lebih jelas bagaimana manusia pada saat itu berinteraksi secara global di Semarang, bukankah ini sebuah nilai informasi yang mahal harganya? Semarang bisa dipastikan merupakan kota kosmopolitan pada masanya, sumber inspirasi bagi Surabaya, Batavia dan Bandung pada masanya bahkan masih mungkin untuk ditarik ke belakang bagaimana proses kebudayaan yang ada pada masa Kiai Pandan Arang sebagai pendiri kota Semarang.
Tahun ini, kota Semarang menginjak usia ke-462. Gambaran budaya apa yang terjadi saat ini? Gedung Lawang Sewu sebagai sebuah “wadah kebudayaan” diharapkan dapat memberikan nilai budaya itu. Pusat Pelestarian Benda Dan Bangunan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) seharusnya memberikan kontribusi bersama Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kota Semarang dalam memberikan pembelajaran masyarakat tentang gambaran budaya kota Semarang masa dahulu sekarang dan yang akan datang.
Representasi budaya bagi masyarakat kota Semarang sangat mendesak. Dinamika masyarakat kota Semarang jika tanpa dilandasi sebuah pilar kebudayaan akan berdampak pada pencitraan kota yang tidak humanis. Program konservasi “urban culture” kota Semarang belum cukup berimbang dengan konsep ekonomi. Kota Semarang sebagai ibukota provinsi seharusnya menjadi ‘architrave’ Jawa Tengah dan mampu sebagai ‘culture trendsetter’ yang mengilhami banyak pihak di berbagai lapisan.
Gedung Lawang Sewu dipandang mampu mewadahi konsep tersebut di atas secara benar. Pusat Pelestarian Benda Dan Bangunan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dapat menjadi sumber inspirasi masyarakat, jika konsep pemanfataan Gedung Lawang sewu jelas dan terarah melalui pengambilan keputusan yang penuh komitmen dan konsisten, pelaksana lapangan yang super kreatif dan mampu menjabarkan serta mengarahkan konsep kebudayaan urban.
Pemanfaatan Gedung Lawang Sewu sebagai ruang bisnis komersial tidak salah, karena dari bisnis tersebut biaya untuk mendanai pemeliharaan dan perawatan akan diperoleh sepanjang tidak menyimpang dari kaidah-kaidah pemanfaatan benda cagar budaya. Pemanfaatan secara komersial yang tidak mematuhi kaidah-kaidah tersebut justru akan menghancurkan gedung itu sendiri sekaligus menghilangkan nilai budaya yang seharusnya dapat lebih ditonjolkan.
Banyak kegiatan bisnis yang dapat dilakukan tanpa keluar dari kaidah pelestarian bangunan dan situs. Pada bangunan utama depan (A, L type) dapat dijadikan pengelolaan bisnis misalnya shop arcade-mall, convention room, food and beverage, exhibition, special event, balai lelang internasional bagi para antiquarian dan lain-lain. Sedangkan bangunan utama belakang (B, I type) dapat dijadikan “creative house” misalnya school of heritage management, museology, field archaelogy, RMIT (restoration, modification, intervention, transformation), historical architecture, photography, cinematography, film documentary, archives, library, graphic design, semarang redevelopment authority, railways heritage preservation centre, building conservation, music conservatory, cultural preservation studio dan lain-lain.
Bangunan tambahan tengah (C, eks percetakan) dapat dijadikan executive lounge; exclusive resto & bar. Selanjutnya sebagian selasar bangunan A dan B dapat digunakan untuk tempat duduk menikmati kopi atau makan, sedangkan tepian halaman dalam pada sisi luar gedung menjadi food gallery dan ‘driveway’ pengunjung dengan tanpa penambahan bangunan. Dapur di tempatkan pada service area di bagian belakang. Sedangkan untuk menjaga keberlangsungan arah kebudayaan urban melalui event yang digelar digedung atau pun pelataran dalam (inner courtyard) secara rutin dan tematik.
Ketika memikirkan fungsi ruang sepantasnya dipahami “Lawang Sewu sebenarnya”. Gedung Lawang Sewu harus menjadi ruh dan motivator tambahan bagi PT. Kereta Api Indonesia (Persero). Gedung Lawang Sewu saat ini bukan sekedar warisan budaya (culture heritage) tapi harus mampu menjadi sumber daya budaya (culture resources). Sebagaimana layaknya sumber daya yang lain, seperti: sumber daya alam, manusia, sosial, pengertian sederhana sumber daya budaya secara ekonomik semestinya mampu menjadi kekuatan yang menghasilkan profit. Gedung Lawang Sewu suatu saat akan mampu menghidupi dirinya sendiri bahkan menghidupi lingkungannya.
Tahun ini, kota Semarang menginjak usia ke-462. Gambaran budaya apa yang terjadi saat ini? Gedung Lawang Sewu sebagai sebuah “wadah kebudayaan” diharapkan dapat memberikan nilai budaya itu. Pusat Pelestarian Benda Dan Bangunan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) seharusnya memberikan kontribusi bersama Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kota Semarang dalam memberikan pembelajaran masyarakat tentang gambaran budaya kota Semarang masa dahulu sekarang dan yang akan datang.
Representasi budaya bagi masyarakat kota Semarang sangat mendesak. Dinamika masyarakat kota Semarang jika tanpa dilandasi sebuah pilar kebudayaan akan berdampak pada pencitraan kota yang tidak humanis. Program konservasi “urban culture” kota Semarang belum cukup berimbang dengan konsep ekonomi. Kota Semarang sebagai ibukota provinsi seharusnya menjadi ‘architrave’ Jawa Tengah dan mampu sebagai ‘culture trendsetter’ yang mengilhami banyak pihak di berbagai lapisan.
Gedung Lawang Sewu dipandang mampu mewadahi konsep tersebut di atas secara benar. Pusat Pelestarian Benda Dan Bangunan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dapat menjadi sumber inspirasi masyarakat, jika konsep pemanfataan Gedung Lawang sewu jelas dan terarah melalui pengambilan keputusan yang penuh komitmen dan konsisten, pelaksana lapangan yang super kreatif dan mampu menjabarkan serta mengarahkan konsep kebudayaan urban.
Pemanfaatan Gedung Lawang Sewu sebagai ruang bisnis komersial tidak salah, karena dari bisnis tersebut biaya untuk mendanai pemeliharaan dan perawatan akan diperoleh sepanjang tidak menyimpang dari kaidah-kaidah pemanfaatan benda cagar budaya. Pemanfaatan secara komersial yang tidak mematuhi kaidah-kaidah tersebut justru akan menghancurkan gedung itu sendiri sekaligus menghilangkan nilai budaya yang seharusnya dapat lebih ditonjolkan.
Banyak kegiatan bisnis yang dapat dilakukan tanpa keluar dari kaidah pelestarian bangunan dan situs. Pada bangunan utama depan (A, L type) dapat dijadikan pengelolaan bisnis misalnya shop arcade-mall, convention room, food and beverage, exhibition, special event, balai lelang internasional bagi para antiquarian dan lain-lain. Sedangkan bangunan utama belakang (B, I type) dapat dijadikan “creative house” misalnya school of heritage management, museology, field archaelogy, RMIT (restoration, modification, intervention, transformation), historical architecture, photography, cinematography, film documentary, archives, library, graphic design, semarang redevelopment authority, railways heritage preservation centre, building conservation, music conservatory, cultural preservation studio dan lain-lain.
Bangunan tambahan tengah (C, eks percetakan) dapat dijadikan executive lounge; exclusive resto & bar. Selanjutnya sebagian selasar bangunan A dan B dapat digunakan untuk tempat duduk menikmati kopi atau makan, sedangkan tepian halaman dalam pada sisi luar gedung menjadi food gallery dan ‘driveway’ pengunjung dengan tanpa penambahan bangunan. Dapur di tempatkan pada service area di bagian belakang. Sedangkan untuk menjaga keberlangsungan arah kebudayaan urban melalui event yang digelar digedung atau pun pelataran dalam (inner courtyard) secara rutin dan tematik.
Ketika memikirkan fungsi ruang sepantasnya dipahami “Lawang Sewu sebenarnya”. Gedung Lawang Sewu harus menjadi ruh dan motivator tambahan bagi PT. Kereta Api Indonesia (Persero). Gedung Lawang Sewu saat ini bukan sekedar warisan budaya (culture heritage) tapi harus mampu menjadi sumber daya budaya (culture resources). Sebagaimana layaknya sumber daya yang lain, seperti: sumber daya alam, manusia, sosial, pengertian sederhana sumber daya budaya secara ekonomik semestinya mampu menjadi kekuatan yang menghasilkan profit. Gedung Lawang Sewu suatu saat akan mampu menghidupi dirinya sendiri bahkan menghidupi lingkungannya.
sumber : wikipedia, http://indonesianheritagerailway.com
0 komentar:
Posting Komentar